Pemilihan presiden di Amerika berbeda dengan di Indonesia.
Di Indonesia sebelum memilih presiden dan wakil presiden, yang harus kita pilih
terlebih dahulu adalah partai politik, baru kemudian setelah hasil diumumkan. Partai
atau koalisi yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua
puluh persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat atau memperoleh 25%
(dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, berhak mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden.
Contohnya pemilu tahun 2014 kemarin , PDI Perjuangan menjadi pemenang pemilu dengan meraih 23.681.471 suara disusul Partai Golkar dengan 18.432.312 suara. Gerindra berada di posisi tiga dengan 14.760.371 suara. Pemenang pemilu lima tahun lalu, Partai Demokrat, turun ke posisi empat dengan 12.728.913 suara. Jumlah keseluruhan suara pada pemilu ini mencapai 124.924.491.
KPU
menyatakan 10 dari 12 partai peserta pemilu 2014 berhasil memenuhi ambang batas
nasional 3,50%. Dua partai yang tidak memenuhi ambang batas dan karenanya tidak
bisa menempatkan wakil di Senayan adalah Partai Bulan Bintang dan PKPI.
Bagan 1. Perolehan Suara Partai pada Pemilu 2014 |
Dilihat seperti bagan diatas, semua partai tidak bisa
mengusulkan calonnya sendiri-sendiri. Maka parpol-parpol tersebut harus
membentuk gabungan atau koalisi partai supaya bisa memenuhi minimal 25 persen
dari suara nasional.
PDIP berkoalisi dengan partai Nasdem, PKB, Hanura, dan PKPI berhasil
mengumpulkan 40,38% suara nasional dan berhak mengusung capres, yang dipilih
adalah Jokowi. Sedangkan Golkar, Demokrat, PAN, PKS, PPP serta PBB mengusung Ketua Umum Gerindra Prabowo sebagai
capres dengan suara nasional sebesar 59,52%.
Contoh Surat Suara pada Pilpres 2014 |
9 Juli
2014 diadakan pemungutan suara untuk pilpres, dan 22 Juli 2014 KPU menetapkan pemilihan
umum ini dimenangkan oleh pasangan Joko Widodo –Jusuf Kalla dengan memperoleh
suara sebesar 53,15%, mengalahkan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yang
memperoleh suara sebesar 46,85%
Electoral College
Pada dasarnya pemilihan Presiden di Amerika menggunakan
sistem Electoral college, yaitu sebuah konvensi yang menjadi penentu
akhir presiden berikutnya. Dalam sistem ini, presiden terpilih tidak diangkat
berdasarkan pilihan rakyat lewat pemungutan suara di TPS (popular vote) seperti
di Indonesia, tetapi oleh electoral votes (suara pemilu) yang tersebar
di 51 negara bagian.
Electoral vote (selanjutnya disebut electors) ini adalah
representasi dari seluruh suara pemilih di Amerika, yang berjumlah 538 orang
electors. Jumlah itu ditetapkan berdasarkan 435 kursi DPR (House of
Representatives), 100 kursi Senat yang tersebar ke seluruh 50 negara bagian
yang ada plus 3 jatah electors untuk ibukota Washington DC . Setiap negara
bagian mempunyai electors yang berbeda-beda, tetapi jumlahnya proporsional
dengan populasinya dan dapat berubah mengikuti sensus.
Misalnya, Alabama memiliki 9 electors, maka partai di
negara bagian ini masing-masing mengangkat 9 electors. Tetapi, hanya partai yang memenangi pemilu (mengantongi
jatah suara lebih dari 50%+1) yang bisa mengirimkan electors-nya ke konvensi.
Istilahnya, the winner take it all. Pemenang meraup semua jatah electors
di tingkat negara bagian. 270 adalah minimal elector yang harus dimenangkan
capres untuk memenangkan pemilu.
Oleh karena itu tidak heran kalau setiap kandidat saling
berusaha agar dapat menang di negara bagian yang electors-nya banyak, sehingga
dengan hanya menang di California misalnya, akan sama artinya dengan menang di
beberapa negara bagian sekaligus yang mempunyai elector sedikit.
Dengan sistem semacam itu, ada kesan bahwa pilpres empat
tahunan yang melibatkan seluruh elemen masyarakat pada Selasa setelah senin di minggu
pertama bulan November (tahun depan jatuh pada tanggal 8 November 2016) tidak
digelar untuk memilih presiden, tetapi memilih partai mana yang akan menguasai electors
di tiap-tiap negara bagian.
Esensi
dari sistem pilpres di AS adalah pertarungan antara 51 negara bagian
(termasuk Washington DC) dalam konvensi Electoral College. Selain itu, pilpres di negara ini menggunakan
sistem pemilu tidak langsung karena perolehan suara terbanyak tidak bisa
memutuskan siapa presiden berikutnya sehingga, dalam sejarahnya,
pilpres Amerika mengalami beberapa peristiwa di mana presiden pilihan
rakyat (Popular Vote) tidak bisa menjabat di Gedung Putih.
Mereka adalah Andrew Jackson menang dalam pemungutan suara pilpres 1824, tetapi di electoral college dia kalah dari John Quincy Adams. Samuel Tilden menang dalam pemungutan suara pilpres 1876, tetapi di electoral college dia kalah dari Rutherford B Hayes. Grover Cleveland menang dalam pemungutan suara pilpres 1888, tetapi di electoral college dia kalah dari Benjamin Harrison.
Yang paling heboh adalah saat George Walker Bush mengalahkan
Al Gore pada pilpres tahun 2000. Pada pemilihan tersebut selain calon presiden
dari dua partai utama (Demokrat dan Republik), ada juga satu pasangan calon
dari partai Green (sebuah partai ‘gurem’ yang tidak memiliki perwakilan di
DPR). Al Gore yang merupakan calon petahana (wakil presiden, karena presiden
Clinton sudah tidak bisa dipilih lagi karena sudah dua periode) mendapatkan
50.999.897 (atau 48.38% suara) sementara sang penantang, George W. Bush
mendapatkan 50.456. 002 (47.87%) dan disisi lain calon independent
Ralph-Nader(partai hijau) hanya mendapatkan 2.882. 955 (2.74%). Walaupun
Al Gore mendapatkan lebih dari setengah juta suara lebih banyak dari George
Bush, Al Gore kalah dalam pemilihan presiden tersebut. George Bush mendapat 271
electors sementara Al Gore mendapat 266 electors.
Source : Diolah dari Berbagai Sumber
Electoral College
Pada dasarnya pemilihan Presiden di Amerika menggunakan
sistem Electoral college, yaitu sebuah konvensi yang menjadi penentu
akhir presiden berikutnya. Dalam sistem ini, presiden terpilih tidak diangkat
berdasarkan pilihan rakyat lewat pemungutan suara di TPS (popular vote) seperti
di Indonesia, tetapi oleh electoral votes (suara pemilu) yang tersebar
di 51 negara bagian.
Electoral vote (selanjutnya disebut electors) ini adalah
representasi dari seluruh suara pemilih di Amerika, yang berjumlah 538 orang
electors. Jumlah itu ditetapkan berdasarkan 435 kursi DPR (House of
Representatives), 100 kursi Senat yang tersebar ke seluruh 50 negara bagian
yang ada plus 3 jatah electors untuk ibukota Washington DC . Setiap negara
bagian mempunyai electors yang berbeda-beda, tetapi jumlahnya proporsional
dengan populasinya dan dapat berubah mengikuti sensus.
Misalnya, Alabama memiliki 9 electors, maka partai di
negara bagian ini masing-masing mengangkat 9 electors. Tetapi, hanya partai yang memenangi pemilu (mengantongi
jatah suara lebih dari 50%+1) yang bisa mengirimkan electors-nya ke konvensi.
Istilahnya, the winner take it all. Pemenang meraup semua jatah electors
di tingkat negara bagian. 270 adalah minimal elector yang harus dimenangkan
capres untuk memenangkan pemilu.
Oleh karena itu tidak heran kalau setiap kandidat saling
berusaha agar dapat menang di negara bagian yang electors-nya banyak, sehingga
dengan hanya menang di California misalnya, akan sama artinya dengan menang di
beberapa negara bagian sekaligus yang mempunyai elector sedikit.
Dengan sistem semacam itu, ada kesan bahwa pilpres empat
tahunan yang melibatkan seluruh elemen masyarakat pada Selasa setelah senin di minggu
pertama bulan November (tahun depan jatuh pada tanggal 8 November 2016) tidak
digelar untuk memilih presiden, tetapi memilih partai mana yang akan menguasai electors
di tiap-tiap negara bagian.
Mereka adalah Andrew Jackson menang dalam pemungutan suara pilpres 1824, tetapi di electoral college dia kalah dari John Quincy Adams. Samuel Tilden menang dalam pemungutan suara pilpres 1876, tetapi di electoral college dia kalah dari Rutherford B Hayes. Grover Cleveland menang dalam pemungutan suara pilpres 1888, tetapi di electoral college dia kalah dari Benjamin Harrison.
Yang paling heboh adalah saat George Walker Bush mengalahkan
Al Gore pada pilpres tahun 2000. Pada pemilihan tersebut selain calon presiden
dari dua partai utama (Demokrat dan Republik), ada juga satu pasangan calon
dari partai Green (sebuah partai ‘gurem’ yang tidak memiliki perwakilan di
DPR). Al Gore yang merupakan calon petahana (wakil presiden, karena presiden
Clinton sudah tidak bisa dipilih lagi karena sudah dua periode) mendapatkan
50.999.897 (atau 48.38% suara) sementara sang penantang, George W. Bush
mendapatkan 50.456. 002 (47.87%) dan disisi lain calon independent
Ralph-Nader(partai hijau) hanya mendapatkan 2.882. 955 (2.74%). Walaupun
Al Gore mendapatkan lebih dari setengah juta suara lebih banyak dari George
Bush, Al Gore kalah dalam pemilihan presiden tersebut. George Bush mendapat 271
electors sementara Al Gore mendapat 266 electors.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar